RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ..…..…TAHUN ….……
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang
berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika
yang terjadi di masyarakat;
b. bahwa globalisasi informasi telah
menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia
sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan
informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional sebagai jawaban
atas perkembangan yang terjadi baik di tingkat regional maupun
internasional;
c. bahwa perkembangan teknologi informasi yang
demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia
dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya
bentuk-bentuk perbuatan hukum baru;
d. bahwa kegiatan pemanfaatan
teknologi informasi perlu terus dikembangkan tanpa mengesampingkan
persatuan dan kesatuan nasional dan penegakan hukum secara adil,
sehingga pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan pemanfaatan
teknologi informasi dapat dihindari melalui penerapan keseragaman asas
dan peraturan perundang-undangan;
e. bahwa pemanfaatan teknologi
informasi khususnya pengelolaan informasi dan transaksi elektronik
mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perdagangan dan
perekonomian nasional dalam rangka menghadapi globalisasi sehingga perlu
dilakukan langkah-langkah konkret untuk mengarahkan pemanfaatan
teknologi informasi agar benar-benar mendukung pertumbuhan perekonomian
nasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat;
f. bahwa pemerintah
perlu memberikan dukungan terhadap pengembangan teknologi informasi
khususnya pengelolaan informasi dan transaksi elektronik beserta
infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga kegiatan pemanfaatan
teknologi informasi dapat dilakukan secara aman dengan menekan
akibat-akibat negatifnya serendah mungkin;
g. bahwa berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, perlu ditetapkan
Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.
Teknologi informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan,
menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisa, dan menyebarkan
informasi.
2. Komputer adalah alat pemroses data elektronik,
magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika,
aritmatika, dan penyimpanan.
3. Informasi elektronik adalah satu
atau sekumpulan data elektronik diantaranya meliputi teks, simbol,
gambar, tanda-tanda, isyarat, tulisan, suara, bunyi, dan bentuk-bentuk
lainnya yang telah diolah sehingga mempunyai arti.
4. Sistem
elektronik adalah sistem untuk mengumpulkan, mempersiapkan, menyimpan,
memproses, mengumumkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi
elektronik.
5. Tanda tangan elektronik adalah informasi elektronik
yang dilekatkan, memiliki hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu
informasi elektronik lain yang dibuat oleh penandatangan untuk
menunjukkan identitas dan statusnya sebagai subyek hukum, termasuk dan
tidak terbatas pada penggunaan infrastruktur kunci publik (tanda tangan
digital), biometrik, kriptografi simetrik.
6. Sertifikat elektronik
adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan
elektronik dan identitas yang menunjukan status subyek hukum para pihak
dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara
sertifikasi elektronik.
7. Penandatangan adalah subyek hukum yang terasosiasikan dengan tanda tangan elektronik.
8.
Lembaga sertifikasi keandalan (trustmark) adalah lembaga yang diberi
kewenangan untuk melakukan audit dan mengeluarkan sertifikat keandalan
atas pelaku usaha dan produk berkaitan dengan kegiatan perdagangan
elektronik.
9. Penyelenggara sertifikasi elektronik adalah badan
hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan
dan mengaudit sertifikat elektronik.
10. Transaksi elektronik
adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer,
jaringan komputer, atau media elektronik lainnya.
11. Agen
Elektronik adalah perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat
untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi elektronik
tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh seseorang.
12. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan sistem elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
13. Badan usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
14.
Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya.
15. Penerima adalah subyek hukum yang menerima suatu informasi elektronik dari pengirim.
16. Pengirim adalah subyek hukum yang mengirimkan informasi elektronik
17.
Jaringan sistem elektronik adalah terhubungnya dua atau lebih sistem
elektronik baik yang bersifat tertutup maupun yang bersifat terbuka.
18. Kontrak elektronik adalah perjanjian yang dimuat dalam dokumen elektronik atau media elektronik lainnya.
19.
Nama domain adalah alamat internet dari seseorang, perkumpulan,
organisasi, atau badan usaha, yang dapat dilakukan untuk berkomunikasi
melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat
unik, menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
20. Kode akses
adalah angka, huruf, simbol lainnya atau kombinasi diantaranya yang
merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer, jaringan komputer,
internet, atau media elektronik lainnya
21. Penyelenggaraan sistem elektronik adalah pemanfaatan sistem elektronik oleh Pemerintah dan atau swasta.
22. Orang adalah orang perorangan baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum.
23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.
Pasal 2
Undang-undang
ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah
Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di
Indonesia.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Pemanfaatan
teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan
asas kepastian hukum, manfaat, hati-hati, itikad baik, dan netral
teknologi.
Pasal 4
Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk :
a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
b.
mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional;
c.
efektifitas dan efisiensi pelayanan publik dengan memanfaatkan secara
optimal teknologi informasi untuk tercapainya keadilan dan kepastian
hukum;
d. memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang
untuk mengembangkan pemikiran dan kemampuannya di bidang teknologi
informasi secara bertanggung jawab dalam rangka menghadapi perkembangan
teknologi informasi dunia;
BAB III
INFORMASI ELEKTRONIK
Pasal 5
(1)
Informasi elektronik dan atau hasil cetak dari informasi elektronik
merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah.
(2)
Informasi elektronik dan atau hasil cetak dari informasi elektronik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti
yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
(4) Ketentuan mengenai informasi elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku untuk :
a. pembuatan dan pelaksanaan surat wasiat;
b. pembuatan dan pelaksanaan surat-surat terjadinya perkawinan dan putusnya perkawinan;
c. surat-surat berharga yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;
d. perjanjian yang berkaitan dengan transaksi barang tidak bergerak;
e. dokumen-dokumen yang berkaitan dengan hak kepemilikan; dan
f.
dokumen-dokumen lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku mengharuskan adanya pengesahan notaris atau pejabat yang
berwenang.
Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan hukum lain
selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu
informasi harus berbentuk tertulis atau asli, maka informasi elektronik
dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat
dijamin keutuhannya, dipertanggungjawabkan, diakses, dan ditampilkan,
sehingga menerangkan suatu keadaan.
Pasal 7
Setiap orang yang
menyatakan suatu hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak
orang lain berdasarkan atas keberadaan suatu informasi elektronik harus
memastikan bahwa informasi elektronik yang ada padanya berasal dari
sistem elektronik terpercaya.
Pasal 8
(1) Kecuali
diperjanjikan lain, waktu pengiriman suatu informasi elektronik
ditentukan pada saat informasi elektronik telah dikirim dengan alamat
yang benar oleh pengirim ke suatu sistem elektronik yang ditunjuk atau
dipergunakan penerima dan telah memasuki sistem elektronik yang berada
di luar kendali pengirim.
(2) Kecuali diperjanjikan lain, waktu
penerimaan suatu informasi elektronik ditentukan pada saat informasi
elektronik memasuki sistem elektronik di bawah kendali penerima yang
berhak.
(3) Dalam hal penerima telah menunjuk suatu sistem elektronik
tertentu untuk menerima informasi elektronik, penerimaan terjadi pada
saat informasi elektronik memasuki sistem elektronik yang ditunjuk.
(4)
Dalam hal terdapat dua atau lebih sistem informasi yang digunakan dalam
pengiriman ataupun penerimaan informasi elektronik, maka:
a. waktu pengiriman adalah ketika informasi elektronik memasuki sistem informasi pertama yang berada diluar kendali pengirim.
b. waktu penerimaan adalah ketika informasi elektronik memasuki sistem informasi terakhir yang berada dibawah kendali penerima.
Pasal 9
Pelaku
usaha yang menawarkan produk melalui media elektronik wajib menyediakan
informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat-syarat
kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan.
Pasal 10
(1)
Pemerintah atau masyarakat dapat membentuk lembaga sertifikasi keandalan
yang fungsinya memberikan sertifikasi terhadap pelaku usaha dan produk
yang ditawarkannya secara elektronik.
(2) Ketentuan mengenai
pembentukan lembaga sertifikasi keandalan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Data pembuatan tanda tangan terkait hanya kepada penanda tangan saja;
b. Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penandatangan;
c. Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
d.
Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan
tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat
diketahui;
e. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya;
f.
Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penandatangan telah
memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanda tangan elektronik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 12
(1)
Setiap orang yang terlibat dalam tanda tangan elektronik berkewajiban
memberikan pengamanan atas tanda tangan elektronik yang digunakannya;
(2) Pengamanan tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi :
a. sistem tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak;
b. penandatangan harus waspada terhadap penggunaan tidak sah dari data pembuatan tanda tangan oleh orang lain;
c.
penandatangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang
dianjurkan oleh penyelenggara tanda tangan elektronik ataupun cara-cara
lain yang layak dan sepatutnya harus segera memberitahukan kepada
seseorang yang oleh penandatangan dianggap mempercayai tanda tangan
elektronik atau kepada pihak pendukung layanan tanda tangan elektronik
jika:
1. Penandatangan mengetahui bahwa data pembuatan tanda tangan telah dibobol; atau
2.
Keadaan yang diketahui oleh penandatangan dapat menimbulkan resiko yang
berarti, kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan tanda tangan;
d.
dalam hal sebuah sertifikat digunakan untuk mendukung tanda tangan
elektronik, memastikan kebenaran dan keutuhan dari semua informasi yang
disediakan penandatangan yang terkait dengan sertifikat.
(3) Setiap
orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum
yang timbul.
Pasal 13
(1) Setiap orang berhak menggunakan jasa
penyelenggara sertifikasi elektronik untuk tanda tangan elektronik yang
dibuat dalam bentuk tanda tangan digital.
(2) Penyelenggara
sertifikasi elektronik harus memastikan keterkaitan suatu tanda tangan
digital dengan pemilik tanda tangan digital yang bersangkutan.
(3) Penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia harus berbadan hukum Indonesia dan beroperasi di Indonesia.
Pasal 14
(1)
Penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud pada Pasal 13
wajib menyediakan informasi yang sepatutnya kepada para pengguna
jasanya yang meliputi :
a. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi penandatangan;
b. Hal-hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data pembuatan tanda tangan elektronik;
c. Hal-hal yang dapat menunjukkan keberlakuan dan keamanan tanda tangan elektronik;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara sertifikasi elektronik diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENYELENGGARAAN SISTEM ELEKTRONIK
Pasal 15
(1)
Informasi dan transaksi elektronik diselenggarakan oleh penyelenggara
sistem elektronik secara andal, aman, dan beroperasi sebagaimana
mestinya.
(2) Penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem elektronik yang diselenggarakannya.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku dalam hal
dapat dibuktikan adanya pihak tertentu yang melakukan tindakan sehingga
sistem elektronik sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak beroperasi
sebagaimana mestinya.
Pasal 16
(1) Sepanjang tidak
ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap penyelenggara
sistem elektronik harus mengoperasikan sistem elektronik yang memenuhi
persyaratan minimum sebagai berikut:
a. dapat menampilkan kembali
informasi elektronik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem
elektronik yang telah berlangsung;
b. dapat melindungi keotentikan,
integritas, kerahasiaan, ketersediaan, dan keteraksesan dari informasi
elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
d.
dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa,
informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan
dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
e. memiliki
mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan
pertanggungjawaban prosedur atau petunjuk tersebut;
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sistem elektronik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
TRANSAKSI ELEKTRONIK
Pasal 17
(1) Penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan baik dalam lingkup publik maupun privat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan transaksi elektronik
yang bersifat khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak.
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya.
(3)
Apabila para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi
elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas-asas
Hukum Perdata Internasional.
(4) Para pihak memiliki kewenangan
untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif yang berwenang menangani sengketa yang mungkin
timbul dari transaksi elektronik.
(5) Apabila para pihak
tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif yang berwenang menangani sengketa yang mungkin
timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas-asas Hukum Perdata
Internasional.
Pasal 19
Para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati.
Pasal 20
(1)
Kecuali ditentukan lain oleh para pihak transaksi elektronik terjadi
pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan
disetujui penerima.
(2) Persetujuan atas penawaran transaksi
elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan
pernyataan penerimaan secara elektronik.
Pasal 21
(1)
Pengirim maupun penerima dapat melakukan sendiri transaksi elektronik,
atau melalui pihak yang dikuasakan olehnya atau melalui Agen Elektronik.
(2)
Kecuali diperjanjikan lain, pihak yang bertanggung jawab atas segala
akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. apabila dilakukan sendiri, menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;
b. apabila dilakukan melalui pemberian kuasa, menjadi tanggung jawab pemberi kuasa;
c. apabila dilakukan melalui Agen Elektronik, menjadi tanggung jawab Penyelenggara Agen Elektronik.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c tidak berlaku
jika dapat dibuktikan terdapat pihak tertentu yang melakukan tindakan
secara ilegal yang mengakibatkan Agen Elektronik dimaksud tidak
beroperasi sebagaimana mestinya.
Pasal 22
(1) Penyelenggara
Agen Elektronik tertentu wajib menyediakan fitur pada Agen Elektronik
yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan
informasi yang masih dalam proses transaksi.
(2) Ketentuan lebih
lanjut mengenai penyelenggara agen elektronik tertentu sebagaimana
dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
DAN PERLINDUNGAN HAK PRIBADI (PRIVASI)
Pasal 23
(1) Setiap orang berhak memiliki nama domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama.
(2)
Pemilikan dan penggunaan nama domain sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib didasarkan pada itikad baik, tidak melanggar prinsip
persaingan usaha secara sehat, dan tidak melanggar hak orang lain.
(3)
Setiap orang yang dirugikan karena penggunaan nama domain secara tanpa
hak oleh orang lain berhak mengajukan gugatan pembatalan nama domain
dimaksud.
(4) Pengelola nama domain dapat dibentuk baik oleh masyarakat maupun Pemerintah.
(5)
Pengelola nama domain yang berada diluar wilayah Indonesia dan nama
domain yang diregistrasinya diakui keberadaannya sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengelola nama domain sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
Informasi
elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, desain situs
internet dan karya-karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi
sebagai Hak Kekayaan Intelektual, berdasarkan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 25
Penggunaan setiap informasi melalui media
elektronik yang menyangkut data tentang hak pribadi seseorang harus
dilakukan atas persetujuan dari orang yang bersangkutan, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 26
Setiap
orang dilarang menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan
pornografi dan atau pornoaksi melalui komputer atau sistem elektronik.
Pasal 27
Setiap orang dilarang:
(1)
Menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik
dengan cara apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau
menghilangkan informasi dalam komputer dan atau sistem elektronik.
(2)
menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik
dengan cara apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau
menghilangkan informasi milik pemerintah yang karena statusnya harus
dirahasiakan atau dilindungi.
(3) menggunakan dan atau mengakses
komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun tanpa hak, untuk
memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi pertahanan
nasional atau hubungan internasional yang dapat menyebabkan gangguan
atau bahaya terhadap Negara dan atau hubungan dengan subyek Hukum
Internasional.
Pasal 28
Setiap orang dilarang melakukan
tindakan yang secara tanpa hak yang menyebabkan transmisi dari program,
informasi, kode atau perintah, komputer dan atau sistem elektronik yang
dilindungi Negara menjadi rusak.
Pasal 29
Setiap orang
dilarang menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem
elektronik secara tanpa hak atau melampaui wewenangnya, baik dari dalam
maupun luar negeri untuk memperoleh informasi dari komputer dan atau
sistem elektronik yang dilindungi oleh negara.
Pasal 30
Setiap orang dilarang:
(1) menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik milik pemerintah yang dilindungi secara tanpa hak;
(2)
menggunakan dan atau mengakses tanpa hak atau melampaui wewenangnya,
komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara, yang
mengakibatkan komputer dan atau sistem elektronik tersebut menjadi
rusak.
(3) menggunakan dan atau mengakses tanpa hak atau melampaui
wewenangnya, komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh
masyarakat, yang mengakibatkan komputer dan atau sistem elektronik
tersebut menjadi rusak.
(4) mempengaruhi atau mengakibatkan terganggunya komputer dan atau sistem elektronik yang digunakan oleh pemerintah.
Pasal 31
Setiap orang dilarang:
(1)
menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik
secara tanpa hak atau melampaui wewenangnya untuk memperoleh keuntungan
atau memperoleh informasi keuangan dari Bank Sentral, lembaga perbankan
atau lembaga keuangan, penerbit kartu kredit, atau kartu pembayaran atau
yang mengandung data laporan nasabahnya.
(2) Menggunakan dan atau
mengakses dengan cara apapun kartu kredit atau kartu pembayaran milik
orang lain secara tanpa hak dalam transaksi elektronik untuk memperoleh
keuntungan
Pasal 32
Setiap orang dilarang menggunakan dan
atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik Bank Sentral, lembaga
perbankan dan atau lembaga keuangan yang dilindungi secara tanpa hak
atau melampaui wewenangnya, untuk disalah gunakan, dan atau untuk
mendapatkan keuntungan daripadanya.
Pasal 33
Setiap orang dilarang:
(1)
menyebarkan, memperdagangkan, dan atau memanfaatkan kode akses
(password) atau informasi yang serupa dengan hal tersebut, yang dapat
digunakan menerobos komputer dan atau sistem elektronik dengan tujuan
menyalahgunakan yang akibatnya dapat mempengaruhi sistem elektronik Bank
Sentral, lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan, serta perniagaan
di dalam dan luar negeri.
(2) Menyebarkan, memperdagangkan, dan atau
memanfaatkan kode akses (password) atau informasi yang serupa dengan hal
tersebut, yang dapat digunakan menerobos komputer dan atau sistem
elektronik dengan tujuan menyalahgunakan komputer dan atau sistem
elektronik yang digunakan atau dilindungi oleh pemerintah.
Pasal 34
Setiap
orang dilarang melakukan perbuatan dalam rangka hubungan internasional
dengan maksud merusak komputer atau sistem elektronik lainnya yang
dilindungi negara dan berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 35
Masyarakat
dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang
menggunakan teknologi informasi yang berakibat merugikan masyarakat.
Pasal 36
(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui lembaga penyelesaian
sengketa alternatif atau arbitrase sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
BAB IX
PERAN PEMERINTAH
Pasal 37
(1)
Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik
dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis
gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi
elektronik yang mengganggu ketertiban umum sesuai peraturan perundangan
yang berlaku.
(3A) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi.
Penjelasan
: data elektronik strategis yang wajib dilindungi antara lain : data
perbankan, data perpajakan, data pertanahan dan data kependudukan.
(3B)
Instansi atau Institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3A) wajib
membuat dokumen elektronik dan backup elektroniknya serta
menghubungkannya ke Pusat Data tertentu untuk kepentingan pengamanan
data tersebut.
(3C) Instansi atau institusi lain selain diatur pasal
(3A) membuat dokumen elektronik dan backup elektroniknya sesuai dengan
keperluan perlindungan data yang dimilikinya
(4) Ketentuan lebih
lanjut mengenai peran pemerintah dan masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan (3) diatur dengan Peraturan Presiden
PERAN MASYARAKAT
Pasal 38.
(1)
Masyarakat berperan meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi
melalui penggunaan dan penyelenggaraan informasi elektronik serta
transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan undang-undang ini
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh lembaga yang dibentuk oleh masyarakat.
(3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
.
BAB X
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 39
Penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam undang-undang
ini.
Pasal 40
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang informasi
dan transaksi elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang informasi dan
transaksi elektronik.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang teknologi informasi;
b.
memanggil orang untuk didengar dan atau diperiksa sebagai tersangka
atau saksi sehubungan dengan tindak pidana di bidang teknologi
informasi;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang teknologi informasi;
d. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan usaha yang diduga melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi;
e.
melakukan pemeriksaan alat dan atau sarana yang berkaitan dengan
kegiatan teknologi informasi yang diduga digunakan untuk melakukan
tindak pidana di bidang teknologi informasi;
f. melakukan
penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai
tempat untuk melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi;
g.
melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana
kegiatan teknologi informasi yang diduga digunakan secara menyimpang
dari ketentuan yang berlaku;
h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana di bidang teknologi informasi;
i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang teknologi informasi;
(3)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memberitahukan penyidikan yang sedang dilaporkannya dan melaporkan hasil
penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Pasal 41
Alat bukti pemeriksaan dalam undang-undang ini meliputi:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa Dokumen Elektronik dan Informasi Elektronik.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 42
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp.1.000.000.000,-. (satu milyar rupiah).
(2)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.,- (satu milyar rupiah).
Pasal 43
Setiap
orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(1), Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan
dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000.,- (seratus juta rupiah).
Pasal 44
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan
dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dituntut atas pengaduan dari orang yang terkena tindak pidana.
Pasal 45
Setiap
orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(3), Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 30
ayat (3), Pasal 30 ayat (4), Pasal 33 ayat (2), atau Pasal 34, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan atau denda
paling banyak Rp.2.000.000.000.,- (dua milyar rupiah).
Pasal 46
Setiap
orang yang melanggar Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling banyak
Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).
Pasal 47
Setiap
orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 32, atau Pasal 33 ayat (1), pasal 35
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau
denda paling banyak Rp.2.000.000.000.,- (dua milyar rupiah).
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 48
Pada
saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan
dan kelembagaan-kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan
teknologi informasi yang tidak bertentangan dengan undang-undang ini
dinyatakan tetap berlaku.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 49
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
(2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah diundangkannya Undang-undang ini.
Dengan info di blog ini kalian akan mendapakan info-info yang bermanfaat.
Minggu, 19 Mei 2013
UU no 36 tentang telekomunimasi
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan
bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,
mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan
antarbangsa.
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
(1) Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi:
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
(2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c. dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d. peran serta masyarakat.
BAB V
P E N Y I D I K A N
Pasal 44
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang telekomunikasi;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang
dari ketentuan yang berlaku;
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga
digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang
telekomunikasi;
g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan
atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang telekomunikasi; dan
i. mengadakan penghentian penyidikan.
(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
BAB VI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21,
Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal
33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi
peringatan tertulis.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan
perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Pasal 53
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya
seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau
Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51,
Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
BAB I
KETENTUAN UMUM, Pasal 1 dan 2
BAB II
ASAS DAN TUJUAN, Pasal 3 dan 4
BAB III
INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK, Pasal 5 - 12
BAB IV
PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI ELEKTRONIK DAN SISTEM ELEKTRONIK
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik, Pasal 13 dan 14
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik, Pasal 15 dan 16
BAB V
TRANSAKSI ELEKTRONIK, Pasal 17- 22
BAB VI
NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN PERLINDUNGAN HAK PRIBADI Pasal 23-26
BAB VII
PERBUATAN YANG DILARANG, Pasal 27-37
BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA, Pasal 38 dan 39
BAB IX
PERAN PEMERINTAH DAN PERAN MASYARAKAT, Pasal 40 dan 41
BAB X
PENYIDIKAN, Pasal 42 - 44
BAB XI
KETENTUAN PIDANA, Pasal 45 - 52
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN, Pasal 53
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 54
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan
bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,
mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan
antarbangsa.
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
(1) Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi:
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
(2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c. dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d. peran serta masyarakat.
BAB V
P E N Y I D I K A N
Pasal 44
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang telekomunikasi;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang
dari ketentuan yang berlaku;
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga
digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang
telekomunikasi;
g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan
atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang telekomunikasi; dan
i. mengadakan penghentian penyidikan.
(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
BAB VI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21,
Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal
33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi
peringatan tertulis.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan
perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Pasal 53
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya
seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau
Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51,
Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
BAB I
KETENTUAN UMUM, Pasal 1 dan 2
BAB II
ASAS DAN TUJUAN, Pasal 3 dan 4
BAB III
INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK, Pasal 5 - 12
BAB IV
PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI ELEKTRONIK DAN SISTEM ELEKTRONIK
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik, Pasal 13 dan 14
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik, Pasal 15 dan 16
BAB V
TRANSAKSI ELEKTRONIK, Pasal 17- 22
BAB VI
NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN PERLINDUNGAN HAK PRIBADI Pasal 23-26
BAB VII
PERBUATAN YANG DILARANG, Pasal 27-37
BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA, Pasal 38 dan 39
BAB IX
PERAN PEMERINTAH DAN PERAN MASYARAKAT, Pasal 40 dan 41
BAB X
PENYIDIKAN, Pasal 42 - 44
BAB XI
KETENTUAN PIDANA, Pasal 45 - 52
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN, Pasal 53
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 54
Uu no . 19 Tentang Hak Cipta Ketentuan Umum, Ruang Lingkup Hak Cipta, Perlindungan Hak Cipta, Pembatasan Hak Cipta Dan Prosedur Pendaftaran HAKKI
HAK CIPTA
Undang-undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta terdiri, dari 15 bab,
78 pasal. Adapun inti dari tiap bab, antara lain:
Bab I : Ketentuan Umum
Bab II : Lingkup Hak Cipta
Bab III : Masa Berlaku Hak Cipta
Bab IV : Pendaftaran Ciptaan
Bab V : Lisensi
Bab VI : Dewan Hak Cipta
Bab VII : Hak Terkait
Bab VIII : Pengelolaan Hak Cipta
Bab IX : Biaya
Bab X : Penyelesaian Sengketa
Bab XI : Penetapan Sementara Pengadilan
Bab XII : Penyidikan
Bab XIII : Ketentuan Pidana
Bab XIV : Ketentuan Peralihan
Bab XV : Ketentuan Penutup
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG
HAK CIPTA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HAK CIPTA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama -sama yang
atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan
pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang
dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
3. Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan
keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
4. Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau
pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang
menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
5. Pengumuman adalah pem bacaan, penyiaran, pameran, penjualan,
pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa
pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun
sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
6. Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara
keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan
bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan
secara permanen atau temporer.
7. Potret adalah gambar dari wajah orang yang digambarkan, baik bersama
bagian tubuh lainnya ataupun tidak, yang diciptakan dengan cara dan alat
apa pun.
8. Program Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam
bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabun
gkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat
komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk
mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang
instruksi-instruksi tersebut.
9. Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak
eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya;
bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya
rekaman suara atau rekaman bunyinya, dan bagi Lembaga Penyiaran untuk
membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.
10. Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang
menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan,
mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra,
folklor, atau karya seni lainnya.
11. Produser Rekaman Suara adalah orang atau badan hukum yang pertama
kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman
suara atau perekaman bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukan maupun
perek aman suara atau perekaman bunyi lainnya.
12. Lembaga Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran yang
berbentuk badan hukum, yang melakukan penyiaran atas suatu karya siaran
dengan menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem
elektromagnetik.
13. Permohonan adalah Permohonan pendaftaran Ciptaan yang diajukan oleh
pemohon kepada Direktorat Jenderal.
14. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau
Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau
memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan
tertentu.
15. Kuasa adalah konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur
dalam ketentuan Undang-undang ini.
16. Menteri adalah Menteri yang membawahkan departemen yang salah satu
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang Hak
Kekayaan Intelektual, termasuk Hak Cipta.
17. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual yang berada di bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri.
BAB II
LINGKUP HAK CIPTA
Bagian Pertama
Fungsi dan Sifat Hak Cipta
Pasal 2
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara
otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembata san
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan
Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang
lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk
kepentingan yang bersifat komersial.
Pasal 3
(1) Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak.
(2) Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun
sebagian karena:
a. Pewarisan;
b. Hibah;
c. Wasiat;
d. Perjanjian tertulis; atau
e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
(1) Hak Cipta yang dimiliki oleh Pencipta, yang setelah Penciptanya
meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat,
dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu
diperoleh secara melawan hukum.
(2) Hak Cipta yang tidak atau belum diumumkan yang setelah Penciptanya
meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat,
dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu
diperoleh secara melawan hukum.
Bagian Kedua
Pencipta
Pasal 5
(1) Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta adalah:
a. orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada
Direktorat Jenderal; atau
b. orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai
Pencipta pada suatu Ciptaan.
(2) Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan
bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa Penciptanya, orang yang
berceramah dianggap sebagai Pencipta ceramah tersebut.
Pasal 6
Jika suatu Ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang
diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai Pencipta
ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh Ciptaan
itu, atau dalam hal tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai
Pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak
Cipta masing-masing atas bagian Ciptaannya itu.
Pasal 7
Jika suatu Ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan dikerjakan
oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang,
Penciptanya adalah orang yang merancang Ciptaan itu.
Pasal 8
(1) Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain
dalam lingkungan pekerjaannya, Pemegang Hak Cipta adalah pihak yang
untuk dan dalam dinasnya Ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian
lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pencipta apabila
penggunaan Ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi
Ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam
hubungan dinas.
(3) Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan
pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta
dan Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua
pihak.
Pasal 9
Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa Ciptaan berasal dari padanya
dengan tidak menyebut seseorang sebagai Penciptanya, badan hukum
tersebut dianggap sebagai Penciptanya, kecuali jika terbukti sebaliknya.
Bagian Ketiga
Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui
Pasal 10
(1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah,
sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.
(2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat
yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda,
babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya
seni lainnya.
(3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2),
orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat
izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 11
(1) Jika suatu Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan itu belum
diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk
kepentingan Penciptanya.
(2) Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui
Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran
Penciptanya, penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk
kepentingan Penciptanya.
(3) Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui
Penciptanya dan/atau penerbitnya, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan
tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
Bagian Keempat
Ciptaan yang Dilindungi
Pasal 12
(1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis
yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir,
seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain
dari hasil pengalihwujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai
Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi
sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan
Perbanyakan hasil karya itu.
Pasal 13
Tidak ada Hak Cipta atas:
a. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
b. peraturan perundang-undangan;
c. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
d. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
e. keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
Bagian Kelima
Pembatasan Hak Cipta
Pasal 14
Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. Pengumuman dan/atau Perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan
menurut sifatnya yang asli;
b. Pengumuman dan/atau Perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan
dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama Pemerintah, kecuali apabila Hak
Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan
perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada Ciptaan itu sendiri
atau ketika Ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
c. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor
berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain,
dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
Pasal 15
Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak
dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang
wajar dari Pencipta;
b. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna
keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna
keperluan:
(i) ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu
pengetahuan; atau
(ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan
ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d. Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra
dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika
Perbanyakan itu bersifat komersial;
e. Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas
dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan
umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi
yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
f. perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis
atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik
Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Pasal 16
(1) Untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, serta kegiatan
penelitian dan pengembangan, terhadap Ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan sastra, Menteri setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak
Cipta dapat:
a. mewajibkan Pemegang Hak Cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan
dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik
Indonesia dalam waktu yang ditentukan;
b. mewajibkan Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin
kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan
tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang
ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan tidak
melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;
c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau Perbanyakan
Ciptaan tersebut dalam hal Pemegang Hak Cipta tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
(2) Kewajiban untuk menerjemahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak
diterbitkannya Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra selama
karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
(3) Kewajiban untuk memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan setelah lewat jangka waktu:
a. 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang matematika dan
ilmu pengetahuan alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah
Negara Republik Indonesia;
b. 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan
buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
c. 7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan
buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia.
(4) Penerjemahan atau Perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah Negara Republik
Indonesia dan tidak untuk diekspor ke wilayah Negara lain.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) huruf b
dan huruf c disertai pemberian imbalan yang besarnya ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
(6) Ketentuan tentang tata cara pengajuan Permohonan untuk menerjemahkan
dan/atau memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 17
Pemerintah melarang Pengumuman setiap Ciptaan yang bertentangan dengan
kebijaksanaan Pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan
Negara, kesusilaan, serta ketertiban umum setelah mendengar pertimbangan
Dewan Hak Cipta.
Pasal 18
(1) Pengumuman suatu Ciptaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah untuk
kepentingan nasional melalui radio, televisi dan/atau sarana lain dapat
dilakukan dengan tidak meminta izin kepada Pemegang Hak Cipta dengan
ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Hak
Cipta, dan kepada Pemegang Hak Cipta diberikan imbalan yang layak.
(2) Lembaga Penyiaran yang mengumumkan Ciptaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang mengabadikan Ciptaan itu semata-mata untuk Lembaga
Penyiaran itu sendiri dengan ketentuan bahwa untuk penyiaran
selanjutnya, Lembaga Penyiaran tersebut harus memberikan imbalan yang
layak kepada Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan.
Bagian Keenam
Hak Cipta atas Potret
Pasal 19
(1) Untuk memperbanyak atau mengumumkan Ciptaannya, Pemegang Hak Cipta
atas Potret seseorang harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari orang
yang dipotret, atau izin ahli warisnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun setelah orang yang dipotret meninggal dunia.
(2) Jika suatu Potret memuat gambar 2 (dua) orang atau lebih, untuk
Perbanyakan atau Pengumuman setiap orang yang dipotret, apabila
Pengumuman atau Perbanyakan itu memuat juga orang lain dalam potret itu,
Pemegang Hak Cipta harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari setiap
orang dalam Potret itu, atau izin ahli waris masing-masing dalam jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun setelah yang dipotret meninggal dunia.
(3) Ketentuan dalam pasal ini hanya berlaku terhadap Potret yang dibuat:
a. atas permintaan sendiri dari orang yang dipotret;
b. atas permintaan yang dilakukan atas nama orang yang dipotret; atau
c. untuk kepentingan orang yang dipotret.
Pasal 20
Pemegang Hak Cipta atas Potret tidak boleh mengumumkan potret yang
dibuat:
a. tanpa persetujuan dari orang yang dipotret;
b. tanpa persetujuan orang lain atas nama yang dipotret; atau
c. tidak untuk kepentingan yang dipotret, apabila Pengumuman itu
bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret,
atau dari salah seorang ahli warisnya apabila orang yang dipotret sudah
meninggal dunia.
Pasal 21
Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, pemotretan untuk diumumkan
atas seorang Pelaku atau lebih dalam suatu pertunjukan umum walaupun
yang bersifat komersial, kecuali dinyatakan lain oleh orang yang
berkepentingan.
Pasal 22
Untuk kepentingan keamanan umum dan/atau untuk keperluan proses
peradilan pidana, Potret seseorang dalam keadaan bagaimanapun juga dapat
diperbanyak dan diumumkan oleh instansi yang berwenang.
Pasal 23
Kecuali terdapat persetujuan lain antara Pemegang Hak Cipta dan pemilik
Ciptaan fotografi, seni lukis, gambar, arsitektur, seni pahat dan/atau
hasil seni lain, pemilik berhak tanpa persetujuan Pemegang Hak Cipta
untuk mempertunjukkan Ciptaan di dalam suatu pameran untuk umum atau
memperbanyaknya dalam satu katalog tanpa mengurangi ketentuan Pasal 19
dan Pasal 20 apabila hasil karya seni tersebut berupa Potret.
Bagian Ketujuh
Hak Moral
Pasal 24
(1) Pencipta atau ahli warisnya berhak menuntut Pemegang Hak Cipta
supaya nama Pencipta tetap dicantumkan dalam Ciptaannya.
(2) Suatu Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah
diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau
dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal Pencipta telah meninggal
dunia.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga terhadap
perubahan judul dan anak judul Ciptaan, pencantuman dan perubahan nama
atau nama samaran Pencipta.
(4) Pencipta tetap berhak mengadakan perubahan pada Ciptaannya sesuai
dengan kepatutan dalam masyarakat.
Pasal 25
(1) Informasi elektronik tentang informasi manajemen hak Pencipta tidak
boleh ditiadakan atau diubah.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Hak Cipta atas suatu Ciptaan tetap berada di tangan Pencipta selama
kepada pembeli Ciptaan itu tidak diserahkan seluruh Hak Cipta dari
Pencipta itu.
(2) Hak Cipta yang dijual untuk seluruh atau sebagian tidak dapat dijual
untuk kedua kalinya oleh penjual yang sama.
(3) Dalam hal timbul sengketa antara beberapa pembeli Hak Cipta yang
sama atas suatu Ciptaan, perlindungan diberikan kepada pembeli yang
lebih dahulu memperoleh Hak Cipta itu.
Bagian Kedelapan
Sarana Kontrol Teknologi
Pasal 27
Kecuali atas izin Pencipta, sarana kontrol teknologi sebagai pengaman
hak Pencipta tidak diperbolehkan dirusak, ditiadakan, atau dibuat tidak
berfungsi.
Pasal 28
(1) Ciptaan-ciptaan yang menggunakan sarana produksi berteknologi
tinggi, khususnya di bidang cakram optik (optical disc), wajib memenuhi
semua peraturan perizinan dan persyaratan produksi yang ditetapkan oleh
instansi yang berwenang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana produksi berteknologi tinggi
yang memproduksi cakram optik sebagaimana diatur pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
MASA BERLAKU HAK CIPTA
Pasal 29
(1) Hak Cipta atas Ciptaan:
a. buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain;
b. drama atau drama musikal, tari, koreografi;
c. segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni
patung;
d. seni batik;
e. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
f. arsitektur;
g. ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lain;
h. alat peraga;
i. peta;
j. terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai berlaku selama hidup
Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah
Pencipta meninggal dunia.
(2) Untuk Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki oleh 2
(dua) orang atau lebih, Hak Cipta berlaku selama hidup Pencipta yang
meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh)
tahun sesudahnya.
Pasal 30
(1) Hak Cipta atas Ciptaan:
a. Program Komputer;
b. sinematografi;
c. fotografi;
d. database; dan
e. karya hasil pengalihwujudan, berlaku selama 50 (lima puluh) tahun
sejak pertama kali diumumkan.
(2) Hak Cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku
selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan.
(3) Hak Cipta atas Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) pasal ini serta Pasal 29 ayat (1) yang dimiliki atau dipegang oleh
suatu badan hukum berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama
kali diumumkan.
Pasal 31
(1) Hak Cipta atas Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh Negara
berdasarkan:
a. Pasal 10 ayat (2) berlaku tanpa batas waktu;
b. Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) berlaku selama 50 (lima puluh) tahun
sejak Ciptaan tersebut pertama kali diketahui umum.
(2) Hak Cipta atas Ciptaan yang dilaksanakan oleh penerbit berdasarkan
Pasal 11 ayat (2) berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan
tersebut pertama kali diterbitkan.
Pasal 32
(1) Jangka waktu berlakunya Hak Cipta atas Ciptaan yang diumumkan bagian
demi bagian dihitung mulai tanggal Pengumuman bagian yang terakhir.
(2) Dalam menentukan jangka waktu berlakunya Hak Cipta atas Ciptaan yang
terdiri atas 2 (dua) jilid atau lebih, demikian pula ikhtisar dan
berita yang diumumkan secara berkala dan tidak bersamaan waktunya,
setiap jilid atau ikhtisar dan berita itu masing-masing dianggap sebagai
Ciptaan tersendiri.
Pasal 33
Jangka waktu perlindungan bagi hak Pencipta sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 24 ayat (1) berlaku tanpa batas waktu;
b. Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) berlaku selama berlangsungnya jangka
waktu Hak Cipta atas Ciptaan yang bersangkutan, kecuali untuk
pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran Penciptanya.
Pasal 34
Tanpa mengurangi hak Pencipta atas jangka waktu perlindungan Hak Cipta
yang dihitung sejak lahirnya suatu Ciptaan, penghitungan jangka waktu
perlindungan bagi Ciptaan yang dilindungi:
a. selama 50 (lima puluh) tahun;
b. selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh)
tahun setelah Pencipta meninggal dunia dimulai sejak 1 Januari untuk
tahun berikutnya setelah Ciptaan tersebut diumumkan, diketahui oleh
umum, diterbitkan, atau setelah Pencipta meninggal dunia.
BAB IV
PENDAFTARAN CIPTAAN
Pasal 35
(1) Direktorat Jenderal menyelenggarakan pendaftaran Ciptaan dan dicatat
dalam Daftar Umum Ciptaan.
(2) Daftar Umum Ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang tanpa
dikenai biaya.
(3) Setiap orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan
dari Daftar Umum Ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.
(4) Ketentuan tentang pendaftar an sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan Hak Cipta.
Pasal 36
Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan tidak mengandung arti
sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari Ciptaan yang
didaftar.
Pasal 37
(1) Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan dilakukan atas
Permohonan yang diajukan oleh Pencipta atau oleh Pemegang Hak Cipta atau
Kuasa.
(2) Permohonan diajukan kepada Direktorat Jenderal dengan surat rangkap 2
(dua) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disertai contoh Ciptaan
atau penggantinya dengan dikenai biaya.
(3) Terhadap Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat
Jenderal akan memberikan keputusan paling lama 9 (sembilan) bulan
terhitung sejak tanggal diterimanya Permohonan secara lengkap.
(4) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah konsultan yang
terdaftar pada Direktorat Jenderal.
(5) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk dapat diangkat
dan terdaftar sebagai konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara Permohonan
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 38
Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau suatu badan
hukum yang secara bersama-sama berhak atas suatu Ciptaan, Permohonan
tersebut dilampiri salinan resmi akta atau keterangan tertulis yang
membuktikan hak tersebut.
Pasal 39
Dalam Daftar Umum Ciptaan dimuat, antara lain:
a. nama Pencipta dan Pemegang Hak Cipta;
b. tanggal penerimaan surat Permohonan;
c. tanggal lengkapnya persyaratan menurut Pasal 37; dan
d. nomor pendaftaran Ciptaan.
Pasal 40
(1) Pendaftaran Ciptaan dianggap telah dilakukan pada saat diterimanya
Permohonan oleh Direktorat Jenderal dengan lengkap menurut Pasal 37,
atau pada saat diterimanya Permohonan dengan lengkap menurut Pasal 37
dan Pasal 38 jika Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau satu
badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam
Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 41
(1) Pemindahan hak atas pendaftaran Ciptaan, yang terdaftar menurut
Pasal 39 yang terdaftar dalam satu nomor, hanya diperkenankan jika
seluruh Ciptaan yang terdaftar itu dipindahkan haknya kepada penerima
hak.
(2) Pemindahan hak tersebut dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas
permohonan tertulis dari kedua belah pihak atau dari penerima hak dengan
dikenai biaya.
(3) Pencatatan pemindahan hak tersebut diumumkan dalam Berita Resmi
Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 42
Dalam hal Ciptaan didaftar menurut Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 39, pihak lain yang menurut Pasal 2 berhak atas Hak Cipta dapat
mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan Niaga.
Pasal 43
(1) Perubahan nama dan/atau perubahan alamat orang atau badan hukum yang
namanya tercatat dalam Daftar Umum Ciptaan sebagai Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta, dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas permintaan
tertulis Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang mempunyai nama dan alamat
itu dengan dikenai biaya.
(2) Perubahan nama dan/atau perubahan alamat tersebut diumumkan dalam
Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 44
Kekuatan hukum dari suatu pendaftaran Ciptaan hapus karena:
a. penghapusan atas permohonan orang atau badan hukum yang namanya
tercatat sebagai Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
b. lampau waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal
31 dengan mengingat Pasal 32;
c. dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Sumber :
1.
http://caffri10.blogspot.com/2012/10/uu-nomor-19-tahun-2002-tentang-hak-cipta_9886.html
Langganan:
Postingan (Atom)